Ada beberapa perspektif tentang gaya hidup kekristenan yang salah, yang selama ini menyesatkan kita sehingga kita menjadi tidak maksimal. Berikut ini adalah pembahasan lanjutan dari artikel sebelumnya.
Tanda lain dari kehidupan yang tidak efektif adalah pengajaran bahwa yang perlu dilakukan seseorang hanyalah menyerahkan masalahnya kepada Yesus, dan dia bisa keluar begitu saja dari masalah dan konsekuensinya. Perspektif yang salah ini menyangkal keterlibatan dari kehendak pribadi orang tersebut, pilihan-pilihannya, dan memalsukan kedewasaan rohani serta moralitas. Seorang pria yang pernah menghubungi saya untuk meminta pertolongan mengatakan ini kepada saya saat saya mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang memojokkan dia untuk keluar dari zona nyaman "pria baik-baik"nya: "Terima kasih, tapi saya hanya perlu meyerahkan semua masalah saya kepada Yesus dan membiarkan Dia bekerja." Prosedur standar dari orang yang takut ini menunjukkan seperti apa imannya, dalam kasus ini dia tahu bahwa Yesus mau dan mampu menolong dia dengan masalah-masalahnya, tapi dia memanipulasi semua itu untuk bersembunyi atau menghindar dari konflik dan tanggung jawab untuk tindakan-tindakannya. Tuhan bekerja sama dengan kita untuk membantu kita menjadi pulih dan bertumbuh dewasa, menjadi makin serupa dengan anakNya (Roma 8:29; 2 Kor 3:18, Efesus 2:10). PeranNya tidak dapat digantikan oleh siapapun juga, tapi begitu juga dengan kita. Tuhan ingin kita juga mengambil peran aktif dalam kehidupan kita, karena butuh 2 pihak untuk bergerak bersama-sama ke satu tujuan (Mat 7:5; 1 Kor 10:28; Filipi 2:12-13).
Mengapa ada banyak anak-anak yang diajar bahwa kewajiban spiritual mereka hanyalah berdoa dan membaca alkitab dan bahwa segala sesuatu yang lain hanyalah tentang apa yang Tuhan mau lakukan dalam diri mereka? Orang-orang sukses yang hidup berkelimpahan tidak berpikir seperti ini. Mereka mengerti bahwa kehendak dan pilihan-pilihan mereka mempunyai efek yang besar terhadap kualitas hidup mereka dan kemampuan mereka untuk mengasihi dan memberkati orang lain.
Musuh jaman ini bukanlah kapasitas manusia, atau aktivitas yang berlebihan, tapi adalah kepasifan, ide bahwa Tuhan telah melakukan segalanya dan Anda hanya tinggal menjadi konsumen dari kasih karuniaNya. Saya pikir ini adalah kesalahan yang besar dan sangat berarti, karena pandangan ini menarik banyak orang Kristen yang aktif dari begitu banyak area dalam kehidupan di mana mereka seharusnya ada. Itu juga mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan rohani, karena Anda tidak bertindak secara konsisten (iman selalu bergerak bersama-sama dengan perbuatan). Kita tahu bahwa seperti yang Yesus katakan dalam Yohanes 15, "...di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa", kita perlu menambahkan keterangan, "Jika Anda tidak melakukan apapun juga, maka bisa dipastikan bahwa Anda sedang berada di luar Dia."
Satu contoh yang saya berikan dalam workshop, seminar, dan konferensi adalah salah satu pernyataan Yesus. Dia berkata, Dia mengutus murid-muridNya ke dalam dunia sama seperti mengutus domba ke tengah-tengah serigala: "Hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati" (Mat 10:16). Yesus ingin pengikutNya cerdik dan bijak, yang selalu waspada, selalu mencari perspektif yang benar, bertahan hidup dengan akal budi dan kebijaksanaan mereka. Saya ingin kita semua menjadi cerdik dalam cara yang sama, untuk sesuatu yang benar, dengan menggunakan setiap hal-hal yang tidak enak untuk merangsang kita, untuk menciptakan daya tahan, untuk memusatkan perhatian kita kepada hal-hal yang esensi, sehingga Anda akan benar-benar hidup, dan tidak hanya sekedar melakukan perbuatan-perbuatan baik. (Lukas 16:9).
Kebutuhan kita akan kebijaksanaan seperti ini lebih besar daripada yang kita sadari. Kita sudah berjalan jauh dari keseimbangan. Dimulai dari sekolah minggu, orang-orang percaya diajar bahwa kesalehan semata akan meratakan jalan menuju kehidupan yang berkelimpahan dan memuliakan Tuhan. Yesus tidak pernah mengatakan hal ini. Dia ingin kita hidup dengan baik dan juga bijak. Yang menjadi masalah bagi kebanyakan kita adalah, kehidupan yang bijaksana tidak selalu nyaman atau menyenangkan. Orang yang bijak kadangkala tidak mudah untuk berbaur begitu saja, dan orang tua yang bijak terkadang kelihatannya bersikap kejam. Marilyn Chandler McEntyre pernah berkata: Salah satu saat terbaik suami saya sebagai orang tua datang suatu hari ketika setelah dia menegur dan mendisiplin anak kami yang telah bersikap nakal, dia membungkuk, menatap tepat di matanya, dan berkata, "Sayang, seperti inilah cinta itu adanya." Cinta, dalam kasus itu, bagi anak kami pasti lebih terlihat sebagai "kejam" dibanding baik.
Contoh lainnya, kita sering mengajarkan sikap bermurah hati kepada anak-anak kita tanpa mengajarkan bagaimana bermurah hati dengan bijaksana. Terlebih lagi, ada sikap bermurah hati dengan hal-hal yang berharga (Firman Tuhan, sumber-sumber kita, energi, dan talenta) yang termasuk dosa: "Jangan kamu memberikan barang yang kudus kepada anjing dan jangan kamu melemparkan mutiaramu kepada babi, supaya jangan diinjak-injaknya dengan kakinya, lalu ia berbalik mengoyak kamu." (Matius 7:6). Bagaimana seseorang memberitahukan perbedaan antara bermura hati dengan bijak dan bermurah hati dengan bodoh? Anda bisa menebaknya: kecerdikan ular, dimana kita tidak dilahirkan dengan itu. Kita perlu belajar lebih lagi tentang itu sehingga kita bisa melatihnya.
Mengapa kebijaksanaan yang berharga sulit ditemukan? Saya tidak tahu semua jawabannya, tapi saya tahu beberapa. Kebijaksanaan, seperti kerendahan hati, menolong kita melihat kehidupan dengan lebih jelas. Dan dengan itu, akan datang keputusan-keputusan yang tidak dapat dihindarkan: contohnya, apakah akan terus berjalan dalam dosa, atau bertobat dengan berbalik dari kebohongan dan mengubah haluan ke arah hidup yang memuliakan Tuhan. Pilihannya terlihat mudah sampai Anda menghitung harga dari keputusan itu. Bagi kebanyakan orang, kebijaksanaan tampak terlalu banyak menuntut, yang paling utama, itu membutuhkan perubahan. Sementara kita lebih suka memilih hidup dalam ilusi.
Kehidupan yang baik tanpa kebijaksanaan hanya sia-sia, seperti yang didemonstrasikan oleh konselor pecandu obat-obatan saat semua anggota keluarga membiarkan si pecandu meneruskan gaya hidupnya yang merusak dirinya sendiri. Kesalehan diri sendiri mungkin memberikan kesan bahwa kita melakukan hal-hal yang baik, padahal kenyataannya tidak. Ajarkanlah kebaikan dan kebijaksanaan secara berdampingan kepada anak-anak Anda, dan dengan demikian Anda mewariskan kunci yang mereka butuhkan untuk kehidupan yang sukses, juga yang akan meningkatkan kemampuan mereka untuk memberkati orang lain.
Sumber : crosswalk